Kamis, 20 November 2014

MASIHKAH ADA CINTA SAAT BENCI DATANG



            Cinta. Apa sih itu? Kenapa orang-orang selalu saja bicara cinta? Apa ia memang begitu penting? Lalu, sepenting apa sih cinta itu? Apa tanpa cinta orang-orang nggak bisa hidup? Apa mungkin cinta itu mampu menjamin hidup seseorang bisa bahagia? Jika ia, apa itu berlaku untuk semua orang?
            Sayangnya nggak! Sama sekali nggak berlaku untuk Cinta. Iya, namanya cinta, namun dalam hidupnya jauh dari kata cinta. Apa hanya karena namanya Cinta, lalu dia tak berhak mendapat cinta lain? Entahlah. Yang jelas hidupnya bertolak belakang dari namanya, dia tak punya yang lain kecuali keluarga yang berantakan dan kekayaan orang tua yang membuat dia membenci hidupnya. Mungkin inilah hidup, cinta dan benci adalah dua hal yang tak pernah bisa bersatu meski hadirnya terkadang selalu bersamaan.

***

            Apa kau tak bosan selalu saja mengikutiku? Cinta menatap tak senang salah satu teman sekelasnya yang dia rasa selalu saja mengganggunya. Diva, itulah cewek yang kini menjadi teman sebangkunya di SMA.
            Sudah ku bilang, aku hanya ingin menjadi temanmu, ucap Diva sambil tersenyum.
            Aku ingin sendiri, kau ke kantin saja sana.
            Aku tidak ingin pergi sendiri, gimana kalo kita barengan saja?
            Aku tidak lapar, lebih baik kau tinggalkan aku.
            Tidak, aku pengen ikut kamu. Kamu tau kan, kita ini sama-sama anak baru dan aku hanya mengenalmu disekolah ini.
            Itu urusanmu.” Setelah mengatakan itu Cinta kembali melangkah menuju taman belakang sekolah.
            Itulah kebiasaannya setiap hari, selalu saja menyendiri. Disekolah barunya ini, Cinta tak mau kenal siapa-siapa kecuali, Diva. Itu pun bukan karena Cinta yang ingin kenal, tapi Diva lah yang pertaman mengajaknya kenalan. Saat itu Cinta menjadi siswi baru di SMA Cendana, tak berapa lama kemudian Diva pun jadi siswi baru juga. Entah bagaimana caranya keduanya pun sekelas, sekaligus sebangku. Bagi Cinta tak ada gunanya mengenal orang lain apalagi mengajak berteman. Karena yang dia tau hidup ini hanya sendiri, dan itu berlaku dimanapun dia berada.
            Sikap Cinta yang tertutup selalu saja membuat Diva ingin selalu mencari tau tentangnya. Bukan karena Diva itu kepo atau apa, dia hanya ingin membantu saja jika memang Cinta punya masalah. Untuk saat ini Cinta memutuskan menyerah meminta Diva menjauhinya, Cinta hanya diam saja saat Diva selalu mengikutinya. Mungkin memang dia hanya ingin berteman saja, tanpa bermaksud mencampuri urusaanya. Namun pada suatu ketika saat pulang sekolah, Diva tak langsung pulang. Ada sesuatu yang ingin diberika pada Cinta, namun sayang dia sudah pulang duluan.

***

            Cinta menatap nanar pintu gerbang yang menjulang tinggi didepannya. Pintu gerbang itu memang tinggi, namun sayangnya dia tak mampu menjaga agar apa yang ada didalam sana aman dan baik-baik saja. Cinta berjalan menyusuri halaman rumannya yang luas. Langkahnya terhenti tatkala sayup-sayup dia mendengar teriakan-teriakan didalam istana yang dibangun papanya. Rumah mewah itu terkadang seperti kuburan, kadang juga seperti pasar ikan. Berisik. Tak pernah ada ketenangan didalamnya. Seenggaknya itulah yang selalu dirasakan Cinta. Kemewahan yang membuatnya membenci segalanya. Kasih sayang yang tak pernah tersentuh, apalagi mengharapkan kehangatan keluarga. Mungkin dalam hidupnya, Cinta hanya sebatas namanya saja. Tak untuk dimiliki.
            Dengan keras Cinta membanting pintu depan saat dilihatnya kedua orangtuanya sedang adu mulut diruang tengah. Tanpa peduli Cinta langsung berderap masuk kekamarnya.
            “Lihat , Pa. Ini gara-gara Papa. Cinta jadi marah gitu.” mama berteriak menyalahkan Papa yang selalu sibuk bekerja.
            “Mama yang nggak pernah urus dia, mama selalu sibuk dengan teman-teman arisan diluar.” Papa juga ikut menyalahkan mama.
            Memang selalu begini saat keduanya sudah dirumah. Papa yang sibuk bekerja setiap hari, pergi subuh pulangnya malam. Bahkan kadang-kadang enggak pulang karena lembur atau keluar kota. Mama yang selalu sibuk dengan teman arisannya, sampai Cinta terkadang tak ada yang mengurusi. Cinta memang bukan anak kecil lagi, tapui seenggaknya dia diperlakukan juga seperti teman-temannya yang lain yang walau hidup tak berkecukupan sepertinya namun mereka punya keluarga yang hangat. Tidak seperti dirinya.
            Tak berapa lama kemudian Cinta keluar dari kamar setelah ganti seragam sekolah. Kalo saja dia tahu hari ini ada papa dan mamanya dirumah, Cinta akan berpikir dua kali untuk pulang kerumah. Cinta lebih memilih berada diluar, dan sekarang dia berniat untuk pergi. Kalo nanti suasana rumah sudah tenang baru dia akan pulang lagi. Cinta berjalan cepat melewati ruang tengan tanpa memeduulikan panggilan mamanya yang menyuruhnya makan. Bagi Cinta, keadaan rumah yang begini saja sudah membuatnya kenyang.
            Langkah Cinta terhenti tepat saat pintu didepannya terbuka. Matanya melebar karena begitu kagetnya. Disana, di teras rumahnya Diva berdiri dengan pandangan yang beda dari biasanya. Matanya seakan-akan ingin mengatakan sesuatu pada Cinta.
            Sesaat hanya hening yang menghampiri. Cinta menarik napas berat, ini bukan saatnya untuk menyerah. Hanya karena seseorang tau apa yang selama ini berusaha disembunyikannya. Selama ini Cinta tak pernah mengizinkan siapapun datang kerumahnya, termasuk Diva. Dan sekarang Diva sudah tau, inilah jawaban yang selama ini tak pernah dia dapat dari Cinta.
            Tak ingin berpikir lagi apa yang sedang disimpulkan oleh otak Diva saat mendengar perdebatan hebat kedua orang tuanya, Cinta langsung berjalan melewati Diva. Cinta bukan tak tau, Tak perlu Diva beritau pun dia sudah tau pasti kalo Diva sudah tau semuanya. Cinta bisa melihat dari ekspresi wajah Diva saat menatapnya. Cinta sudah sering melihat wajah-wajah temannya seperti itu saat dulu-dulu sewaktu dia masih punya banyak teman. Hanya saja dia tidak mau tau entah itu wajah prihatin,  atau bahkan mereka ketakutan dengan keluarga seperti ini. Kelurga yang berantakan penuh kekerasan dan jauh berbeda dari keluarga mereka yang hangat dan harmonis. Persetan dengan apa yang mereka pikir, Cinta tak peduli lagi sekarang.
            “Maaf, aku hanya ingin mengembalikan punyamu.”
            Langkah Cinta terhenti saat mendengar kata-kata Diva barusan. Matanya langsung menoleh pada benda yang dipegang Diva.
            “Ini, bukumu.” Diva menyodorkan buku itu pada Cinta. "Kamu lupa membawanya tadi, aku takut kamu tidak bisa mengerjakan PR untuk besok," katanya lagi.
            Sejenak Cinta memandang buku yang masih dipegang Diva sebelum kemudian mengambilnya. “Makasih.”
            Lalu Cinta meletakkan sebarangan buku itu diatas meja yang ada diteras. Dan setelah itu tanpa mengatakan sepatah kata pun Cinta kembali berjalan.
            “Kau mau kemna?” Lagi-lagi suara Diva menghentikan langkahnya.
            “Bukan urusanmu,” katanya ketus.
            “Apa kau masih tak mau menganggapku teman? Apa kau yakin bisa selalu sendiri tanpa orang lain.”
            “Kau sudah tau semuanya, kan? Sekarang terserah apa yang akan kau lakukan.”
            “Aku bukan orang yang seperti itu.” Diva tak terima dengan ucapan Cinta yang seakan-akan mengatainya.
            “Lalu, apa yang mau kau lakukan disini?” Cinta mengatakan itu tanpa sedikitpun menoleh.
            “Apa kau mau berbagi denganku?” tanya Diva hati-hati.
            “Tidak perlu, jangan pedulikan aku. Aku sudah terbiasa begini.”
            “Kau selalu saja meremehkan orang lain. Apa kau pikir cuma kamu yang pernah mengalami hal seperti ini.” Suara Diva mulai meninggi.
            Kening Cinta sedikit berkerut mendengarkan ucapan Diva barusan. “Maksudmu?” tanyanya kemudian.
            “Aku juga pernah diposisi seperti ini, bahkan lebih parah. Orangtua ku sudah berpisah saat aku masih SD, seenggaknya ini masih lebih baik untukmu. Orangtuamu masih bersatu, mungkin kau hanya butuh cara biar mereka bisa kembali seperti dulu.”
            Cinta hanya berdiri mematung mendengar kata-kata Diva. Apa dia seegois itu selama ini, selalu mementingkan diri sendiri. Tanpa pernah tau ada yang merasakan hal yang lebih berat darinya. Yang lebih tidak percaya lagi kenapa Diva menceritakan ini padanya yang bahkan baru dia kenal beberapa minggu yang lalu.
            “Kau pasti bertanya kenapa aku bisa mengatakan ini padamu, kan?” Diva seakan bisa membaca pikiran Cinta. Cinta sendiri sudah tidak tau harus mengatakan apa.
            “Aku hanya tidak mau terbebani. Dulu aku juga sepertimu, menutup diri dan selalu membenci hal yang tidak aku sukai. Tapi setelah aku berpikir bahwa membenci hanya membuat hidup ini semakin susah, aku jadi lelah melakukannya.” Sejenak Diva diam dan menatap Cinta yang berdiri didepannya tanpa sedikitpun menoleh. “Suka atau nggak yang jelas hidup ini harus terus dijalani. Dan yang lebih penting jangan membenci, karena benci hanya semakin memperumit hidup yang adanya memang sudah rumit.”
            “Coba sejenak membuka diri untuk orang-orang yang masih memperdulikanmu. Kau harus tau, hidup ini tak bisa sendiri, apalagi ditambah membenci. Kita masih butuh orang-orang terdekat yang mau mencintai dan menerima saat kita membagi beban kita pada mereka.” Lanjut Diva lagi.
            Tak ada yang salah dengan kata-kata Diva, Cinta memang mengakui apa yang dikatakan temannya ini benar. Tapi yang dia tidak yakin, apa bisa dia sekuat itu menerima kenyataan hidupnya. Rasanya terlalu sulit menerima semua ini, hidupnya sudah terlanjut membenci.
            “Tapi, yang aku heranin, kenapa sih orang-orang terlalu sulit unuk mencintai tanpa ada yang harus tersakiti.” Diva tertawa miris mengingat pertanyaannya barusan.
            Sama halnya dengan Cinta, dia juga tak mengerti kenapa satu kata ‘cinta’ itu sangat sulit untuk dilakukan. Padahal seharusnya semua yang kita lakukan dalam hidup ini harus didasari dengan cinta, tanpa perlu membenci. Andai cinta dan mencintai hanya semudah mengucapkan, perpisahan yang akhirnya akan membuat sakit tak akan terjadi. Tapi, memang beginilah kehidupan. Cinta dan Benci dua hal yang tak terpisahkan. Adakalanya Cinta itu mendominasi kehidupan, dan adakalanya juga justru Benci yang hadir. Yang Cinta pikirkan saat ini hanya satu, apakah dia bisa kembali mencintai kehidupannya tanpa harus membenci lagi?

-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar