Cinta. Apa sih itu? Kenapa orang-orang
selalu saja bicara cinta? Apa ia memang begitu penting? Lalu, sepenting apa sih
cinta itu? Apa tanpa cinta orang-orang nggak bisa hidup? Apa mungkin cinta itu
mampu menjamin hidup seseorang bisa bahagia? Jika ia, apa itu berlaku untuk
semua orang?
Sayangnya
nggak! Sama sekali nggak berlaku untuk Cinta. Iya, namanya cinta, namun dalam
hidupnya jauh dari kata cinta. Apa hanya karena namanya Cinta, lalu dia tak
berhak mendapat cinta lain?
Entahlah.
Yang jelas hidupnya bertolak belakang dari namanya, dia tak punya yang lain
kecuali keluarga yang berantakan dan kekayaan orang tua yang membuat dia
membenci hidupnya. Mungkin inilah hidup, cinta dan benci adalah dua hal yang
tak pernah bisa bersatu meski hadirnya terkadang selalu bersamaan.
***
“Apa
kau tak bosan selalu saja mengikutiku?”
Cinta menatap tak senang salah satu teman sekelasnya yang dia rasa selalu saja
mengganggunya. Diva, itulah cewek yang kini menjadi teman sebangkunya di SMA.
“Sudah
ku bilang, aku hanya ingin menjadi temanmu,”
ucap Diva sambil tersenyum.
“Aku
ingin sendiri, kau ke kantin saja sana.”
“Aku
tidak ingin pergi sendiri, gimana kalo kita barengan saja?”
“Aku
tidak lapar, lebih baik kau tinggalkan aku.”
“Tidak,
aku pengen ikut kamu. Kamu tau kan, kita ini sama-sama anak baru dan aku hanya
mengenalmu disekolah ini.”
“Itu
urusanmu.” Setelah
mengatakan itu Cinta kembali melangkah menuju taman belakang sekolah.
Itulah
kebiasaannya setiap hari, selalu saja menyendiri. Disekolah barunya ini, Cinta
tak mau kenal siapa-siapa kecuali, Diva. Itu pun bukan karena Cinta yang ingin
kenal, tapi Diva lah yang pertaman mengajaknya kenalan. Saat itu Cinta menjadi
siswi baru di SMA Cendana, tak berapa lama kemudian Diva pun jadi siswi baru
juga. Entah bagaimana caranya keduanya pun sekelas, sekaligus sebangku. Bagi
Cinta tak ada gunanya mengenal orang lain apalagi mengajak berteman. Karena
yang dia tau hidup ini hanya sendiri, dan itu berlaku dimanapun dia berada.
Sikap
Cinta yang tertutup selalu saja membuat Diva ingin selalu mencari tau
tentangnya. Bukan karena Diva itu kepo atau apa, dia hanya ingin membantu saja
jika memang Cinta punya masalah. Untuk saat ini Cinta memutuskan menyerah
meminta Diva menjauhinya, Cinta hanya diam saja saat Diva selalu mengikutinya.
Mungkin memang dia hanya ingin berteman saja, tanpa bermaksud mencampuri
urusaanya. Namun pada suatu ketika saat pulang sekolah, Diva tak langsung
pulang. Ada sesuatu yang ingin diberika pada Cinta, namun sayang dia sudah
pulang duluan.
***
Cinta
menatap nanar pintu gerbang yang menjulang tinggi didepannya. Pintu gerbang itu
memang tinggi, namun sayangnya dia tak mampu menjaga agar apa yang ada didalam
sana aman dan baik-baik saja. Cinta berjalan menyusuri halaman rumannya yang
luas. Langkahnya terhenti tatkala sayup-sayup dia mendengar teriakan-teriakan
didalam istana yang dibangun papanya. Rumah mewah itu terkadang seperti
kuburan, kadang juga seperti pasar ikan. Berisik. Tak pernah ada ketenangan didalamnya. Seenggaknya itulah yang selalu
dirasakan Cinta. Kemewahan yang membuatnya membenci segalanya. Kasih sayang
yang tak pernah tersentuh, apalagi mengharapkan kehangatan keluarga. Mungkin
dalam hidupnya, Cinta hanya sebatas namanya saja. Tak untuk dimiliki.
Dengan
keras Cinta membanting pintu depan saat dilihatnya kedua orangtuanya sedang adu
mulut diruang tengah. Tanpa peduli Cinta langsung berderap masuk kekamarnya.
“Lihat
, Pa. Ini gara-gara Papa. Cinta jadi marah gitu.” mama berteriak menyalahkan Papa
yang selalu sibuk bekerja.
“Mama
yang nggak pernah urus dia, mama selalu sibuk dengan teman-teman arisan
diluar.” Papa juga ikut menyalahkan mama.
Memang
selalu begini saat keduanya sudah dirumah. Papa yang sibuk bekerja setiap hari,
pergi subuh pulangnya malam. Bahkan kadang-kadang enggak pulang karena lembur
atau keluar kota. Mama yang selalu sibuk dengan teman arisannya, sampai Cinta
terkadang tak ada yang mengurusi. Cinta memang bukan anak kecil lagi, tapui
seenggaknya dia diperlakukan juga seperti teman-temannya yang lain yang walau
hidup tak berkecukupan sepertinya namun mereka punya keluarga yang hangat.
Tidak seperti dirinya.
Tak
berapa lama kemudian Cinta keluar dari kamar setelah ganti seragam sekolah.
Kalo saja dia tahu hari ini ada papa dan mamanya dirumah, Cinta akan berpikir
dua kali untuk pulang kerumah. Cinta lebih memilih berada diluar, dan sekarang
dia berniat untuk pergi. Kalo nanti suasana rumah sudah tenang baru dia akan
pulang lagi. Cinta berjalan cepat melewati ruang tengan tanpa memeduulikan
panggilan mamanya yang menyuruhnya makan. Bagi Cinta, keadaan rumah yang begini
saja sudah membuatnya kenyang.
Langkah
Cinta terhenti tepat saat pintu didepannya terbuka. Matanya melebar karena
begitu kagetnya. Disana, di teras rumahnya Diva berdiri dengan pandangan yang
beda dari biasanya. Matanya seakan-akan ingin mengatakan sesuatu pada Cinta.
Sesaat
hanya hening yang menghampiri. Cinta menarik napas berat, ini bukan saatnya
untuk menyerah. Hanya karena seseorang tau apa yang selama ini berusaha
disembunyikannya. Selama ini Cinta tak pernah mengizinkan siapapun datang
kerumahnya, termasuk Diva. Dan sekarang Diva sudah tau, inilah jawaban yang
selama ini tak pernah dia dapat dari Cinta.
Tak
ingin berpikir lagi apa yang sedang disimpulkan oleh otak Diva saat mendengar
perdebatan hebat kedua orang tuanya, Cinta langsung berjalan melewati Diva.
Cinta bukan tak tau, Tak perlu Diva beritau pun dia sudah tau pasti kalo Diva
sudah tau semuanya. Cinta bisa melihat dari ekspresi wajah Diva saat menatapnya.
Cinta sudah sering melihat wajah-wajah temannya seperti itu saat dulu-dulu
sewaktu dia masih punya banyak teman. Hanya saja dia tidak mau tau entah itu
wajah prihatin, atau bahkan mereka
ketakutan dengan keluarga seperti ini. Kelurga yang berantakan penuh kekerasan
dan jauh berbeda dari keluarga mereka yang hangat dan harmonis. Persetan dengan
apa yang mereka pikir, Cinta tak peduli lagi sekarang.
“Maaf,
aku hanya ingin mengembalikan punyamu.”
Langkah
Cinta terhenti saat mendengar kata-kata Diva barusan. Matanya langsung menoleh
pada benda yang dipegang Diva.
“Ini,
bukumu.” Diva menyodorkan buku itu pada Cinta. "Kamu lupa membawanya tadi,
aku takut kamu tidak bisa mengerjakan PR untuk besok," katanya lagi.
Sejenak
Cinta memandang buku yang masih dipegang Diva sebelum kemudian mengambilnya.
“Makasih.”
Lalu
Cinta meletakkan sebarangan buku itu diatas meja yang ada diteras. Dan setelah
itu tanpa mengatakan sepatah kata pun Cinta kembali berjalan.
“Kau
mau kemna?” Lagi-lagi suara Diva menghentikan langkahnya.
“Bukan
urusanmu,” katanya ketus.
“Apa
kau masih tak mau menganggapku teman? Apa kau yakin bisa selalu sendiri tanpa
orang lain.”
“Kau
sudah tau semuanya, kan? Sekarang terserah apa yang akan kau lakukan.”
“Aku
bukan orang yang seperti itu.” Diva tak terima dengan ucapan Cinta yang
seakan-akan mengatainya.
“Lalu,
apa yang mau kau lakukan disini?” Cinta mengatakan itu tanpa sedikitpun
menoleh.
“Apa
kau mau berbagi denganku?” tanya Diva hati-hati.
“Tidak
perlu, jangan pedulikan aku. Aku sudah terbiasa begini.”
“Kau
selalu saja meremehkan orang lain. Apa kau pikir cuma kamu yang pernah
mengalami hal seperti ini.” Suara Diva mulai meninggi.
Kening
Cinta sedikit berkerut mendengarkan ucapan Diva barusan. “Maksudmu?” tanyanya
kemudian.
“Aku
juga pernah diposisi seperti ini, bahkan lebih parah. Orangtua ku sudah
berpisah saat aku masih SD, seenggaknya ini masih lebih baik untukmu.
Orangtuamu masih bersatu, mungkin kau hanya butuh cara biar mereka bisa kembali
seperti dulu.”
Cinta
hanya berdiri mematung mendengar kata-kata Diva. Apa dia seegois itu selama
ini, selalu mementingkan diri sendiri. Tanpa pernah tau ada yang merasakan hal
yang lebih berat darinya. Yang lebih tidak percaya lagi kenapa Diva menceritakan
ini padanya yang bahkan baru dia kenal beberapa minggu yang lalu.
“Kau
pasti bertanya kenapa aku bisa mengatakan ini padamu, kan?” Diva seakan bisa
membaca pikiran Cinta. Cinta sendiri sudah tidak tau harus mengatakan apa.
“Aku
hanya tidak mau terbebani. Dulu aku juga sepertimu, menutup diri dan selalu
membenci hal yang tidak aku sukai. Tapi setelah aku berpikir bahwa membenci
hanya membuat hidup ini semakin susah, aku jadi lelah melakukannya.” Sejenak
Diva diam dan menatap Cinta yang berdiri didepannya tanpa sedikitpun menoleh.
“Suka atau nggak yang jelas hidup ini harus terus dijalani. Dan yang lebih
penting jangan membenci, karena benci hanya semakin memperumit hidup yang
adanya memang sudah rumit.”
“Coba
sejenak membuka diri untuk orang-orang yang masih memperdulikanmu. Kau harus
tau, hidup ini tak bisa sendiri, apalagi ditambah membenci. Kita masih butuh
orang-orang terdekat yang mau mencintai dan menerima saat kita membagi beban
kita pada mereka.” Lanjut Diva lagi.
Tak
ada yang salah dengan kata-kata Diva, Cinta memang mengakui apa yang dikatakan
temannya ini benar. Tapi yang dia tidak yakin, apa bisa dia sekuat itu menerima
kenyataan hidupnya. Rasanya terlalu sulit menerima semua ini, hidupnya sudah
terlanjut membenci.
“Tapi,
yang aku heranin, kenapa sih orang-orang terlalu sulit unuk mencintai tanpa ada
yang harus tersakiti.” Diva tertawa miris mengingat pertanyaannya barusan.
Sama
halnya dengan Cinta, dia juga tak mengerti kenapa satu kata ‘cinta’ itu sangat
sulit untuk dilakukan. Padahal seharusnya semua yang kita lakukan dalam hidup
ini harus didasari dengan cinta, tanpa perlu membenci. Andai cinta dan
mencintai hanya semudah mengucapkan, perpisahan yang akhirnya akan membuat
sakit tak akan terjadi. Tapi, memang beginilah kehidupan. Cinta dan Benci dua
hal yang tak terpisahkan. Adakalanya Cinta itu mendominasi kehidupan, dan
adakalanya juga justru Benci yang hadir. Yang Cinta pikirkan saat ini hanya
satu, apakah dia bisa kembali mencintai kehidupannya tanpa harus membenci lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar