CINTA TANPA KATA
“Gue mau kok jadi pacar lo!”
Kata-kata
itu terus saja terngiang dikepala Nessa. Walau sebenarnya dia tau kalimat itu
hanya bahan becandaannya Danar, tapi bagi Nessa itu seperti sebuah keseriusan.
Kejandian itu terjadi dua minggu lalu saat Nessa sedang didera kegalauan
setelah beberapa hari pasca putus dari pacaranya. Dan saat itu Nessa sedang
mengerjakan tugas kelompok yang kebetulan dia sekelompok dengan Danar. Karena
Nessa sama sekali nggak konsentrasi dengan tugasnya, akhirnya kata-kata itu
keluar dari mulut Danar.
“Gue
tau lo baru putus, tapi coba dong lo propesional dikit.”
“Lo
nggak pernah ngerti sih perasaaan cewek!”
“Karena
gue bukan cewek. Eh tapi, gue mau kok jadi pacar lo asal lo bisa konsentrasi
sama tugas kita,” kata Danar sambil tersenyum jail.
Mata
Nessa terbelalak kaget. Tapi sedetik kemudian dia tersadar. “Enak banget lo
ngomongnya,” katanya jutek.
Dan setelah hari itu sampai sekarang ini,
kejadian itu seprtinya sama sekali nggak pernah terjadi bagi Danar. Bukutinya,
setelah tugas kelompok itu selesai, Danar sudah kembali lagi jadi makhluk
penjaga gunung es yang dinginnya bahkan melebihi suhu gunung es itu. Sikapnya
masih sama seperti dua bulan lalu saat dia pertama kali muncul didepan Nessa,
dan menjadi siswa baru dikelasnya.
Namun
enggak bagi Nessa, setelah kalimat itu keluar dari mulut Danar, dia merasakan
ada sepercik harapan tentang rasa liar yang sudah menghantuinya sejak pertama
melihat Danar. Dulu. Tapi sayangnya waktu itu Nessa tidak bisa apa-apa. Nessa
sudah punya cowok. Tapi, apa untuk saat ini rasa itu bisa dicoba? Entahlah,
tapi untuk saat ini Nessa tidak bisa berbohong tentang rasanya. Rasa itu kini
semakin meluas, namun sayangnya lagi-lagi dia hanya diam. Nessa tak tau harus
melakukan apa. Dia tidak mau terjatuh saat lukanya masih belum cukup tepat
untuk dibilang pulih.
***
Setahun
hampir berlalu. Nessa sudah terlalu jauh mengenal Danar, dan rasa itu juga
sudah menjalar entah kemana. Namun, rasa hanya sekedar rasa tanpa berani
menyatakan. Beberapa minggu terakhir ini saat Danar jarang terlihat disekolah,
rasa itu malah membuat Nessa tak pernah tenang disekolah. Nessa merasa ada
sesuatu yang sepertinya terjadi pada Danar. Mungkin dia sakit.
Dan
kemudian apa yang selama ini ditakuti Nessa terjadi. Saat kenyataan itu
didapanti, Nessa merasakan dadanya seperti tertusuk. Bahkan lebih sakit dari
waktu dia diputuskan pacaranya atau bahkan saat dia merasakan rasa sendiri yang
setiap saat selalu membuatnya tak pernah tenang. Tapi ini, Nessa sungguh tak
bisa menerima.
Danar,
orang itu yang selama setahun ini membuat hidupnya tak pernah tenang, memebuat
hari-hari disekolahnya terkadang menyenangkan dan terkadang juga menjengkelkan
karena sifat dingin dan cueknya. Kini dia sedang terbaring lemah dirumah sakit.
Satu penyakit mematikan telah hadir didalam tubuhnya. Dokter mendiaknosis bahwa
Danar mengidap kanker hati stadium akhir dan harus segera dioperasi sebelum
menyebar keseluruh tubuhnya.
“Lo
pasti senengkan karena disekolah nggak ada yang bikin hari-hari lo
menjengkelkan lagi?” Danar tersenyum usil saat mengatakaan itu.
Nessa
menghapus air mata yang tadi mulai membahi pipinya. Dengan sebel dia menatap
Danar setelah kata-kata itu keluar daru mulut cowok itu.
“Lo
nggak usah pura-pura nangis deh, gue tau kok.”
Lagi-lagi
Nessa tak habis pikir dengan cowok yang sedang terbaring didepannya ini. “Gue
nggak tau selain ini ada penyakit apalagi yang ada ditubuh lo. Bahkan disaat
seperti ini lo masih aja menjengkelkan,” kata Nessa akhirnya.
Danar
tertawa mendengar kata-kata Nessa, namun dihatinya seperti ada sesuatu yang
terbersit. Dan kemudian sikapnya seakan berubah serius. “Setelah ini lo boleh
ngelakuin apa aja. Asal jangan lo kasihani gue, gue nggak suka.”
Kata-kata
terakhir Danar itu yang akhirnya membuat Nessa terdiam tanpa tau harus
mengtakan apa. Nessa hanya merasakan dia tak mau kehilangan Danar. Ada detak
yang tak bisa dihentikan saat dia bersama Danar. Namun saat dia teringat keadaan
Danar, saat itu juga dia merasakan ada detak yang seakan mati. Tapi yang pasti
rasa itu sama sekali tak pernah berkurang dalam hati Nessa. Malah hampir
menggila saat melihat keadaan Danar yang seperti itu, bahkan hampir saja dia
berbuat nekat. Mengatakannya pada Danar!
***
Seminggu
telah berlalu, dan keadaan Danar waktu itu masih saja menghantui pikiran Nessa
hingga dia tak bisa fokus belajar. Pulang sekolah nanti dia berencana menjenguk
Danar lagi. Namun sesaat kemudian rencananya hanya tinggal rencana. Mau
menjenguk siapa dirumah sakit kalo orang yang ingin dijenguk sudak berada
ditempat lain. Danar. Dengan seragam putih abu-abunya lengkap dengan ransel
hitam, berdiri tepat didepannya sambil menyunggingkan senyum. Danar masuk
sekolah!
“Lo….”
Ucapan Nessa terhenti saat Danar menempelkan telunjuknya dibibir Nessa.
“Entar
aja bisa? Udah bel nih,” katanya pelan.
Sesaat
kemudian guru jam pelajaran pertama pun masuk. Dan saat itulah memori otak
Nessa kembali berputar saat melihat kertas-kertas yang dibawa bu Eva. Soal
ulangan Matematika. Kedua mata Nessa terbelalak saat teringat kata bu Eva
minggu lalu bahwa hari ini mereka ada ulangan dan Nessa sama sekali nggak
belajar. Mampus gue! katanya dalam hati.
“Seharusnya
lo berterima kasih sama gue, karena hari ini gue sekolah kertas ulangan lo tadi
nggak selurunya kosong, kan?” Danar tiba-tiba saja sudah berdiri disamping
Nessa yang sedang duduk ditaman.
“Gue
nggak minta tuh!”
“Oke!
Tadi memang gue sendiri yang ngasih, karena gue nggak mau ikutan malu karena
nilai ulangan teman sebangku gue dibawah standar semua. Seenggaknya satu
pelajaran cukup.”
“Eh,
siapa bilang nilai pelajaran gue jelek semua?”
“Cuma
tebakan. Kalo gitu gue balik, jangan cari gue!”
“Siapa
juga yang bakal nyariin lo!”
Setelah
kejadian itu Danar kembali menghilang. Dia tak penah sekolah lagi, dalam
beberapa hari itu satu pun tak ada kabarnya kalo pun dia dirawat dirumah sakit
lagi. Hingga kemudian satu kenyataan lagi kembali harus diterima Nessa.
“Danar…
Danar sudah tiada. Danar baru saja meninggal.” Itu kabar yang dia dapat dari Mamanya
Danar. Dengan seketika tubuh Nessa melemas. Bahkan sampai saat dia berada di
tempat pengistirahatan terakhir Danar, air matanya tak habis-habisnya mengalir.
Nessa terus terisak.
Nessa
menangis untuk orang yang pernah membuatnya berharap. Untuk orang yang pernah
menumbuhkan rasa dihatinya. Untuk orang yang sempat dia cintai namun tak sempat
untuk dimiliki, dan bahkan kata cinta itu tak sempat terucap.
Sekarang
orang itu telah tiada. Danar sudah kembali padanya. Dia sudah tak termiliki,
nggak hanya untuk Nessa, namun untuk semua yang dulu pernah memiliki Danar.
Danar sudah kembali kepada yang berhak memilikinya. Terkadang dalam hidup
memang harus begini, mencintai tanpa harus memiliki. Namun dalam hati Nessa,
nama Danar tetap akan tersimpat rapi. Juga tentang kenangan sesaat yang pernah
mereka lewati, terutama kenangan bagi Nessa sendiri. Karena selama ini dia yang
berharap, dia yang mencintai dan sekarang dia yang kehilangan. Selama ini Nessa
cinta sendiri dalam diam. Dan pada akhirnya, sekarang pun dia harus mencintaai
tampa bisa memiliki bahkan untuk sekedar bertemu. nessa harus bisa hidup dengan
takdirnya tanpa Danar, toh juga sebelumnua dia tidak mengenal Danar.
=THE END=