Jumat, 14 November 2014

CONFESSION HEART




            Dua bulan sejak kematian Nathan, semua masih berjalan semestinya. Tidak ada yang berubah. Raka masih seperti yang dulu, hanya mungkin sekarang dia lebih bisa mengerti sebuah arti persahabatan juga arti kehilangan yang mau tak mau harus diterimanya kembali dua bulan yang lalu. Meski sikap keras kepalanya masih melekat padanya, namun saat ini Raka sudah bisa sedikit lebih dewasa dari pada saat dia masih kelas sepuluh dulu. Mungkin karena sekarang dia sudah kelas duabelas, agak sedikit malu sama junior-juniornya.
            Tak ada bedanya dengan Nadya, sifat ke-lewat mandirinya juga masih ada sampai sekarang. Bahkan sama Raka pun begitu, meski begitu hubungannya dengan Raka cukup berjalan baik. Mungkin hanya Sarah yang sedikit berbeda. Sarah memang sudah berubah dari sikap pemalu yang dilikinya, namun anehnya sekarang dia makin jadi pendiam. Jarang ngumpul sama Nadya dan Rakan, kerjaannya hanya belajar dan nongkrong di perpus. Nadya sudah coba bertanya terhadap perubah sahabatnya ini, namun Sarah hanya menjawab tidak apa-apa.
            “Sar, kamu lagi ada masalah, ya?” tanya Nadya saat mereka sedang makan dikantin.
            “Aku nggak apa-apa kok?”
            “Yakin? Kalo ada masalah, kamu cerita dong sama aku. Kita sudah hampir dua tahun kan temenan, masa kamu belum bisa percaya sama aku.”
            “Beneran kok, Nad. Aku nggak ada masalah apa-apa.” Sarah mencoba tersenyum meski Nadya tau itu hanya caranya agar Nadya tak lagi bertanya padanya.
            “Tapi kenapa kamu jadi lebih pendiam gini, sih? Kerjaan kamu Cuma belajar dan belajar.”
            “Aku Cuma ingin fokus pada sekolahku, mau manggapai cita-citaku.”
            “Ya sudah kalo begitu, aku hanya bisa mendukung apa yang kamu lakukan.”
            Sarah kembali tersenyum pada Nadya. “Makasih, Nad,” katanya.
            Sejak saat itu, Nadya tak pernah bertanya lagi. Bukan tidak mau bertanya, tapi jawaban Sarah yang selalu begitu. Sampai suatu hari Nadya melihat ada keanehan lain pada Sarah. Saat pulang sekolah, Sarah tak seperti biasanya yang langsung pulang ke rumah. Hari itu Sarah menumpangi bus yang berlawanan dengan arah rumahnya. Karena penasaran Nadya pun mengikutinya.

***

            Benar seperti perkiraan Nadya, Sarah memang tak berniat pulang ke rumah atau pergi ke tempat saudra. Setengah jam setelah perjalanan dari sekolah, bus yang di tumpangi Sarah berhenti didepan sebuah taman kecil dekat pemakaman umum. Sarah turun dari bus, lalu berjalan pelan menyusri jalan setapak disamping taman itu. Nadya pikir mungkin Sarah mau menenangkan diri ditaman itu, atau mungkin dia lagi cari Inspirasi untuk menulis. Karena setau Nadya, Sarah itu memang suka nulis. Namun sayangnya bukan seperti yang Nadya pikirkan, langkah Sarah baru terhenti didepan sebuah komplek pemakaman umum. Tepat disebuah makam.
            Deg! Nadya kaget saat mengetahi nama pemilik makam itu sesaat setelah Sarah berjongkok. Nathan! Ya, itu makamnya Nathan. Nadya baru teringat hari ini tepat dua bulan Nathan meninggal. Nadya hendak menyusul Sarah menuju makam Nathan saat tiba-tiba dia teringat sesuatu.
            “Ngapain Sarah di makam Nathan?” gumamnya. Sesaat kemudian ingatannya melayang pada perubahan-perubahan Sarah akhir-akhir ini. Nadya ingat, Sarah mulai terlihat beda dan lebih pendiam setelah Nathan meninggal. Apa jangan-jangan Sarah selama ini punya perasaan sama Nathan? Pikirnya.
            “Ahh!” Nadya mencoba menepis pemikirannya. Mungkin Sarah memang merasa kehilangan Nathan. Lagi pula selama ini Nathan juga sudah banyak membantu Sarah. Salah satunya membuat Sarah lebih percaya diri dlam melakukan sesuatu.
            Setelah memastika itu hanya sekedar pemikirannya, Nadya berjalan menghampiri Sarah.
            “Kamu pasti kangen Nathan, ya?” kata Sarah samil ikut berjongkong di samping Sarah. Sarah menoleh kaget saat tau Nadya ada disampingnya. Dengan cepat dia menyeka air mata yang sudah mulai mengalir dipipinya.
            “Nggak kerasa ya, udah dua bulan Nathan ninggalin kita. Aku juga kanget sama dia, Raka apalgi,” kata Nadya lagi.
            “Kamu ngapain disini?” Sarah yang sudah bisa menenangkan diri mencoba bertanya.
            “Maaf, sebenarnya aku tadi ngikutin kamu. Aku nggak tau kalo kamu kesini.”
            “Aku... Aku hanya....” Sarah terdiam.
            “Aku tau, nggak hanya kamu yang kangen Nathan, aku sama Raka dan yang lain juga, kok.” Nadya tersenyum sambil mengelus lembut bahu Sarah.
            “Nad... Aku sebenarnya pengen cerita sama kamu.”
            Nadya menoleh. “Ada apa?”
            Sarah terdiam, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Nadya. Nadya hanya menunggu Sarah untuk berbicara. Detik-detik telah berlalu, namu hanya keheningan yang hadir diantara mereka. Sarah belum juga mengeluarkan satu kata pun.
            “Apa sebenarnya kamu punya perasaan sama Nathan?” tanya Nadya tiba-tiba.
            Sarah tersentak kaget mendengar pertanyaan itu. Kepalanya langsung menunduk seperti seseorang yang merasa malu.
            “Sarah.” panggil Nadya saat Sarah masih belum menjawab.
            Detik berikutnya kepala Sarah seperti mengangguk. "Aku juga tidak tau, Nad," katanya. Air mata Sarah kembali mengalir. Nadya mencoba menenangkan Sarah yang akhirnya terisak. Pelan ditariknya Sarah agar berdiri lalu keduanya berjalan meninggalkan makam Nathan menuju ketaman kecil disamping pemakan umum itu. Keduanya kini duduk disebuah bangku kaya ditengan taman. Dengan sabar Nadya masih menunggu Sarah untuk berbicara lagi. Sebenarnya pengakuan Sarah barusan sudah sangat membuat Nadya terkejut. Selama ini dia tidak tau apa-apa.
            “Sejak setahun terakhir setelah kita tau penyakitnya, aku hanya bisa berharap kalo Nathan bisa sembuh. Atau kalo bisa Tuhan menggantikan saja aku diposisinya. Aku sangat sedih saat tau itu. Tapi aku nggak bisa apa-apa.” Sarah kembali terisak.
            “Dan saat kemudia dia meninggal, aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Aku tidak tau apa ini suka atau bukan, yang jelas aku sangat kehilangan dia. Tidak hanya sebagai sahabta.”
            “Aku tau Sar, mungkin inilah takdir. Kamu harus bisa ikhlas. Nathan juga pasti senang kalo tau ini, tapi kamu jangan nangis lagi, ya.” Dengan lembut Nadya menghapus air mata yang kini membasahi wajah Sarah.
            “Mungkin aku memang pemalu dan penakut, seharunya dulu aku bilang ini langsung pada Nathan. “
            “Nggak, Sar. Kamu nggak begitu kok, aku tau kok kamu bukan nggak berani bilang. Tapi, kamu nggak mau terlihat lemah didepan Nathan, kamu nggak ingin melihat dia Sedih.”
            “Makasih, Nad, kamu udah mau dengerin cerita aku.”
            Nadya mengangguk. “Sama-sama, Sar. Lagian sekarang kita kan udah jadi teman,” katanya kemudian.
            “Yuk, pulang. Udah mau sore nih.”
            Keduanya pun berjalan menjauh dari taman menuju halte bus terdekat untuk pulang.

***
            Beberapa bulan kemudian….
            “Selamat ya, Sar. Aku nggak nyangka ternyata selama ini kamu bercita-cita jadi Dokter.” Nadya berseru senang saat melihat nama Sarah tertulis di papan pengumuman kelulusan SNMPTN di sebuah Universitas.
            “Makasih, Nad.”
            “Usaha kamu buat belajar selama ini nggak sia-sia. Sekali lagi selamat, ya.” Seru Nadya lagi, kali ini sambil memeluk Sarah.
            “Aku hanya ingin bisa menolong orang-orang yang sakit, seperti Nathan,” kata Sarah pelan.
            “Aku yakin kamu pasti bisa.”
            “Makasih. Aku janji, di Universitas nanti aku akan belajar lebih rajin.”
            Nadya mengangguk. “Semangat!”
            “Selamat, ya, Sarah.” sebuah suara tiba-tiba membuat Sarah menoleh.
            Raka berjalan menghampiri mereka berdua.
            “Makasih, Raka,” ucap Sarah sambil tersenyum.
            “Jadi, sekarang saatnya kita menwujudkan mimpi masing-masing. Oh ya, selamat juga ya, Ka, cita-cita kamu jadi Sutradara sebentar lagi akan tercapai.” Nadya tersenyum pada Raka.
            “Makasih... Sayang!” Bales Raka malu-malu.
            “Cieee.... Udah berani manggil sayang sekarang,” ledek Sarah.
            Raka dan Nadya hanya tersenyum simpul mendengar ledekan Sarah. Mereka juga baru sadar ternyata si pendiam Sarah juga bisa ngeledek juga.
            Sekarang semuanya sudah terlihat lebih baik. Sarah udah lebih percaya diri dan tak lagi sependiam dulu. Dan sekarang dia juga tak lagi menyimpan beban sendiri. Mungkin memang untuk inilah ada sahabat. Untuk saling berbagi. Agar hidup tak terus-terusan terasa kesepian. Dan juga agar kehilangan tak tersa semakin menyesakkan. Love, life, and friendship.

-THE END-

By : @rahiey_Mah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar