Dua bulan
sejak kematian Nathan, semua masih berjalan semestinya. Tidak ada yang berubah.
Raka masih seperti yang dulu, hanya mungkin sekarang dia lebih bisa mengerti
sebuah arti persahabatan juga arti kehilangan yang mau tak mau harus
diterimanya kembali dua bulan yang lalu. Meski sikap keras kepalanya masih
melekat padanya, namun saat ini Raka sudah bisa sedikit lebih dewasa dari pada
saat dia masih kelas sepuluh dulu. Mungkin karena sekarang dia sudah kelas
duabelas, agak sedikit malu sama junior-juniornya.
Tak
ada bedanya dengan Nadya, sifat ke-lewat mandirinya juga masih ada sampai
sekarang. Bahkan sama Raka pun begitu, meski begitu hubungannya dengan Raka
cukup berjalan baik. Mungkin hanya Sarah yang sedikit berbeda. Sarah memang
sudah berubah dari sikap pemalu yang dilikinya, namun anehnya sekarang dia
makin jadi pendiam. Jarang ngumpul sama Nadya dan Rakan, kerjaannya hanya
belajar dan nongkrong di perpus. Nadya sudah coba bertanya terhadap perubah
sahabatnya ini, namun Sarah hanya menjawab tidak apa-apa.
“Sar,
kamu lagi ada masalah, ya?” tanya Nadya saat mereka sedang makan dikantin.
“Aku
nggak apa-apa kok?”
“Yakin?
Kalo ada masalah, kamu cerita dong sama aku. Kita sudah hampir dua tahun kan
temenan, masa kamu belum bisa percaya sama aku.”
“Beneran
kok, Nad. Aku nggak ada masalah apa-apa.” Sarah mencoba tersenyum meski Nadya
tau itu hanya caranya agar Nadya tak lagi bertanya padanya.
“Tapi
kenapa kamu jadi lebih pendiam gini, sih? Kerjaan kamu Cuma belajar dan
belajar.”
“Aku
Cuma ingin fokus pada sekolahku, mau manggapai cita-citaku.”
“Ya
sudah kalo begitu, aku hanya bisa mendukung apa yang kamu lakukan.”
Sarah
kembali tersenyum pada Nadya. “Makasih, Nad,” katanya.
Sejak
saat itu, Nadya tak pernah bertanya lagi. Bukan tidak mau bertanya, tapi
jawaban Sarah yang selalu begitu. Sampai suatu hari Nadya melihat ada keanehan
lain pada Sarah. Saat pulang sekolah, Sarah tak seperti biasanya yang langsung
pulang ke rumah. Hari itu Sarah menumpangi bus yang berlawanan dengan arah
rumahnya. Karena penasaran Nadya pun mengikutinya.
***
Benar
seperti perkiraan Nadya, Sarah memang tak berniat pulang ke rumah atau pergi ke
tempat saudra. Setengah jam setelah perjalanan dari sekolah, bus yang di
tumpangi Sarah berhenti didepan sebuah taman kecil dekat pemakaman umum. Sarah
turun dari bus, lalu berjalan pelan menyusri jalan setapak disamping taman itu.
Nadya pikir mungkin Sarah mau menenangkan diri ditaman itu, atau mungkin dia lagi
cari Inspirasi untuk menulis. Karena setau Nadya, Sarah itu memang suka nulis.
Namun sayangnya bukan seperti yang Nadya pikirkan, langkah Sarah baru terhenti
didepan sebuah komplek pemakaman umum. Tepat disebuah makam.
Deg!
Nadya kaget saat mengetahi nama pemilik makam itu sesaat setelah Sarah
berjongkok. Nathan! Ya, itu makamnya Nathan. Nadya baru teringat hari ini tepat
dua bulan Nathan meninggal. Nadya hendak menyusul Sarah menuju makam Nathan
saat tiba-tiba dia teringat sesuatu.
“Ngapain
Sarah di makam Nathan?” gumamnya. Sesaat kemudian ingatannya melayang pada
perubahan-perubahan Sarah akhir-akhir ini. Nadya ingat, Sarah mulai terlihat
beda dan lebih pendiam setelah Nathan meninggal. Apa jangan-jangan Sarah selama
ini punya perasaan sama Nathan? Pikirnya.
“Ahh!”
Nadya mencoba menepis pemikirannya. Mungkin Sarah memang merasa kehilangan
Nathan. Lagi pula selama ini Nathan juga sudah banyak membantu Sarah. Salah
satunya membuat Sarah lebih percaya diri dlam melakukan sesuatu.
Setelah
memastika itu hanya sekedar pemikirannya, Nadya berjalan menghampiri Sarah.
“Kamu
pasti kangen Nathan, ya?” kata Sarah samil ikut berjongkong di samping Sarah.
Sarah menoleh kaget saat tau Nadya ada disampingnya. Dengan cepat dia menyeka
air mata yang sudah mulai mengalir dipipinya.
“Nggak
kerasa ya, udah dua bulan Nathan ninggalin kita. Aku juga kanget sama dia, Raka
apalgi,” kata Nadya lagi.
“Kamu
ngapain disini?” Sarah yang sudah bisa menenangkan diri mencoba bertanya.
“Maaf,
sebenarnya aku tadi ngikutin kamu. Aku nggak tau kalo kamu kesini.”
“Aku...
Aku hanya....” Sarah terdiam.
“Aku
tau, nggak hanya kamu yang kangen Nathan, aku sama Raka dan yang lain juga,
kok.” Nadya tersenyum sambil mengelus lembut bahu Sarah.
“Nad...
Aku sebenarnya pengen cerita sama kamu.”
Nadya
menoleh. “Ada apa?”
Sarah
terdiam, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan
Nadya. Nadya hanya menunggu Sarah untuk berbicara. Detik-detik telah berlalu,
namu hanya keheningan yang hadir diantara mereka. Sarah belum juga mengeluarkan
satu kata pun.
“Apa
sebenarnya kamu punya perasaan sama Nathan?” tanya Nadya tiba-tiba.
Sarah
tersentak kaget mendengar pertanyaan itu. Kepalanya langsung menunduk seperti
seseorang yang merasa malu.
“Sarah.”
panggil Nadya saat Sarah masih belum menjawab.
Detik
berikutnya kepala Sarah seperti mengangguk. "Aku juga tidak tau,
Nad," katanya. Air mata Sarah kembali mengalir. Nadya mencoba menenangkan
Sarah yang akhirnya terisak. Pelan ditariknya Sarah agar berdiri lalu keduanya
berjalan meninggalkan makam Nathan menuju ketaman kecil disamping pemakan umum
itu. Keduanya kini duduk disebuah bangku kaya ditengan taman. Dengan sabar
Nadya masih menunggu Sarah untuk berbicara lagi. Sebenarnya pengakuan Sarah
barusan sudah sangat membuat Nadya terkejut. Selama ini dia tidak tau apa-apa.
“Sejak
setahun terakhir setelah kita tau penyakitnya, aku hanya bisa berharap kalo
Nathan bisa sembuh. Atau kalo bisa Tuhan menggantikan saja aku diposisinya. Aku
sangat sedih saat tau itu. Tapi aku nggak bisa apa-apa.” Sarah kembali terisak.
“Dan
saat kemudia dia meninggal, aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam
hidupku. Aku tidak tau apa ini suka atau bukan, yang jelas aku sangat
kehilangan dia. Tidak hanya sebagai sahabta.”
“Aku
tau Sar, mungkin inilah takdir. Kamu harus bisa ikhlas. Nathan juga pasti
senang kalo tau ini, tapi kamu jangan nangis lagi, ya.” Dengan lembut Nadya
menghapus air mata yang kini membasahi wajah Sarah.
“Mungkin
aku memang pemalu dan penakut, seharunya dulu aku bilang ini langsung pada
Nathan. “
“Nggak,
Sar. Kamu nggak begitu kok, aku tau kok kamu bukan nggak berani bilang. Tapi,
kamu nggak mau terlihat lemah didepan Nathan, kamu nggak ingin melihat dia
Sedih.”
“Makasih,
Nad, kamu udah mau dengerin cerita aku.”
Nadya
mengangguk. “Sama-sama, Sar. Lagian sekarang kita kan udah jadi teman,” katanya
kemudian.
“Yuk,
pulang. Udah mau sore nih.”
Keduanya
pun berjalan menjauh dari taman menuju halte bus terdekat untuk pulang.
***
Beberapa bulan kemudian….
“Selamat
ya, Sar. Aku nggak nyangka ternyata selama ini kamu bercita-cita jadi Dokter.”
Nadya berseru senang saat melihat nama Sarah tertulis di papan pengumuman
kelulusan SNMPTN di sebuah Universitas.
“Makasih,
Nad.”
“Usaha
kamu buat belajar selama ini nggak sia-sia. Sekali lagi selamat, ya.” Seru
Nadya lagi, kali ini sambil memeluk Sarah.
“Aku
hanya ingin bisa menolong orang-orang yang sakit, seperti Nathan,” kata Sarah
pelan.
“Aku
yakin kamu pasti bisa.”
“Makasih.
Aku janji, di Universitas nanti aku akan belajar lebih rajin.”
Nadya
mengangguk. “Semangat!”
“Selamat,
ya, Sarah.” sebuah suara tiba-tiba membuat Sarah menoleh.
Raka
berjalan menghampiri mereka berdua.
“Makasih,
Raka,” ucap Sarah sambil tersenyum.
“Jadi,
sekarang saatnya kita menwujudkan mimpi masing-masing. Oh ya, selamat juga ya,
Ka, cita-cita kamu jadi Sutradara sebentar lagi akan tercapai.” Nadya tersenyum
pada Raka.
“Makasih...
Sayang!” Bales Raka malu-malu.
“Cieee....
Udah berani manggil sayang sekarang,” ledek Sarah.
Raka
dan Nadya hanya tersenyum simpul mendengar ledekan Sarah. Mereka juga baru
sadar ternyata si pendiam Sarah juga bisa ngeledek juga.
Sekarang
semuanya sudah terlihat lebih baik. Sarah udah lebih percaya diri dan tak lagi
sependiam dulu. Dan sekarang dia juga tak lagi menyimpan beban sendiri. Mungkin
memang untuk inilah ada sahabat. Untuk saling berbagi. Agar hidup tak
terus-terusan terasa kesepian. Dan juga agar kehilangan tak tersa semakin
menyesakkan. Love, life, and friendship.
-THE END-
By
: @rahiey_Mah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar